Dengan terpilihnya Kiai Yahya sebagai Ketua Umum PBNU, banyak ide pemikiran beliau yang langsung menjadi gebrakan, sebagai salah satu kelebihan Kiai Yahya, yang saya pribadi lihat adalah, beliau adalah pemikir sekaligus eksekutor handal. Mulai dari masuknya para Ibu Nyai dalam jajaran pengurus di PBNU, yang merupakan sejarah baru dalam kepengurusan PBNU. Dan satu lagi yang menarik untuk dibahas yakni, bagaimana NU hari ini, dalam sebuah petikan pidato beliau, “Yang kita inginkan adalah NU tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik, NU secara institusional, secara kelembagaan tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik. Itu adalah keputusan muktamar 1984 lalu,”. Tegas, berani dan sekali lagi, langsung di eksekusi. Kemarin kita Mafhum bersama, PBNU memanggil ketua PCNU Banyuwangi dan Sidoarjo yang terindikasi terlibat politik praktis.
Apakah bisa Kiai Yahya membersihkan segala unsur politik di tubuh NU? Saya kira sangat sulit, namun yang menarik adalah, ada strategi yang dipakai Kiai Yahya, yakni berbagi ruang dalam NU sehingga setiap pihak yang mungkin punya kepentingan yang berbeda-beda tetap di dalam NU sehingga bisa saling mengontrol, bisa saling mengawasi sehingga tidak satu pihak pun yang akan memonopoli, mengkooptasi NU untuk satu kepentingan politik sepihak. Dengan semuanya yang dihasilkan adalah kesepakatan bersama mengenai kepentingan bersama. Ini saya kira satu strategi Brilian beliau. Bagaimana NU tidak lagi di-kooptasi dan di-monopoli oleh satu kepentingan politik saja. Pemanggilan ketua PCNU Banyuwangi dan Sidoarjo kemarin hemat saya bukan dalam rangka melarang pengurus NU berpolitik praktis, namun pada semangat tidak boleh ada kooptasi dan monopoli satu pihak untuk soal politik. Karena yang di PCNU Banyuwangi, kantor PCNU-nya sempat menjadi tempat untuk acara yang mendatangkan salah satu calon bakal presiden. Dan yang di Sidoarjo, karena ada laporan adanya kegiatan yang diinisiai oleh salah satu DPC partai politik yang melibatkan seluruh pengurus MWC NU yang ada di Sidoarjo.
Dawuh Kiai Yahya jelas, pengurus NU yang berkecimpung di struktur partai masih punya peluang untuk terlibat dalam NU, namun tidak boleh hanya satu warna, semuanya punya kesempatan yang sama, tidak ada kooptasi dan monopoli satu pihak, sehingga PBNU akan menjadi wadah komunikasi antara perwakilan partai politik dan NU sendiri bisa jadi semacam Clearing House untuk menyepakati hal yang berbeda kepentingan-kepentingan, agar kepentingan-kepentingan Nasional tetap bisa dikedepankan.
Lantas bagaimana PBNU bersikap atas relasi NU dan PKB?
Ini yang menarik dan mungkin sudah mulai ada riak politik, Kiai Yahya dengan tegas mengatakan bahwa “Relasi NU dan PKB alami sekali. Dulu PKB sendiri diinisiasi bahkan dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU. Tetapi sekali lagi memang tidak boleh NU ini menjadi alat dari PKB, misalnya, atau dikooptasi oleh PKB. Itu kan Nggak boleh. Ini kan yang harus kita jaga,” ujar Gus Yahya.
Pada satu semangat bagaimana NU menjadi payung teduh bagi gaduh panasnya perpolitikan bangsa ini, ikhtiar Kiai Yahya untuk tidak menjadikan PBNU sebagai salah satu pihak yang ikut dalam kontestasi politik bangsa ini, serta menjadikan NU sebagai Clearing House, menjadi wadah komunikasi antara perwakilan partai politik dan NU sendiri bisa jadi untuk menyepakati hal yang berbeda kepentingan-kepentingan, dengan memberi kesempatan yang sama dari para pengurus partai politik untuk ada di PBNU agar NU tidak terkooptasi dan termonopoli pada kepentingan politik satu pihak adalah hal yang luar biasa. Mendudukkan kembali NU sebagai payung teduh Bangsa ini.