Hakikatnya Dakwah, Ceramah, Kajian agama, dan apa pun istilahnya, adalah bagaimana menyampaikan Ilmu pada orang lain, menyampaikan ilmu adalah perkara yang Agung, tidak mudah untuk menyampaikan satu ilmu kepada orang lain, terlebih kepada orang banyak. Karena jika sampai salah atau Ngawur menyampaikannya, maka kesalahan itu akan menjadi satu Kesalahan Jariyah, turun temurun. Sangat berbahaya.
Paling tidak ada dua Piranti yang harus dipunyai seseorang jika ingin berdakwah, mengisi kajian keagamaan, dan sejenisnya, yakni piranti Akhlaq, dan Piranti keilmuan itu sendiri. Piranti Akhlaq adalah bagaimana budi pekerti kita pribadi, sudah sesuaikah dengan apa yang hendak kita sampaikan? Namun paling tidak itu menjadi urusan pribadi masing-masing, dinilai sendiri saja, pantas apa tidak. Namun piranti yang kedua ini yang kini banyak di Skip oleh kebanyakan pendakwah, yakni soal Piranti keilmuan. Misalnya begini, dalam ceramahnya mengutip satu ayat Al-Quran, kemudian di Tafsiri dengan akalnya sendiri, dengan nuansa suka tidak suka, apalagi berbau politis, kacau sudah yang begini ini. Padahal dia Ndak mondok sama sekali, yang Tidak bisa Nahwu Sorrof sebagai sebuah piranti keilmuan untuk memahami teks-teks berbahasa Arab, belum lagi dia masih Ndak faham kenal sama kitab-kitab Tafsir, Ndak kenal yang namanya Ulumul Quran, Mustolah, Azbabun Nuzul, belum lagi soal sastra arab, ada Badi`, Bayan, Ma`ani misalnya dalam lingkup keilmuan Balaghah, sementara yang harus dipahami bersama adalah, bahasa di dalam Al-Qur`an adalah bahasa sastra yang sangat tinggi.
Di pesantren-pesantren NU, kita ketat betul soal bagaimana hendak memahami sumber utama Islam, yakni Al-Quran dan Hadist, ketat sekali. Sampe begadang Ngafalin Nadzom Alfiyah itu bukan iseng, agar pada dasar saja, untuk membaca dengan benar teks-teks berbahasa arab. Nah sekarang malah tidak paham dasar-dasarnya saja, malah ceramah ke mana-mana dengan mengutip ayat-ayat Tuhan dan Hadist lalu dimaknai sesuka dia, serampangan. Kacau Islam jika begini. Siapa-siapa yang memaknai Al-Quran dengan seenak akal dan hawa nafsunya sendiri, Dawuh Kanjeng Rosul, maka dia sudah menyediakan satu tempat di Neraka.
Ambil contoh, Si Haikal Hassan, mau ceramah agama bagaimana, Lha wong memaknai satu kata Kafir dan Kuffar saja salah, itu baru satu kata, belum lagi dia sering, sangat sering salah membaca Al-Quran, membaca saja Lho salah, Kok Ya berani ceramah ke mana-mana dan yang bahaya, dia berani memaknai dengan serampangan, semaunya dia saja. Sangat banyak kekacauan dalam ceramahnya karena tidak disasari dari keilmuan yang mumpuni. Lantas ada penolakan di Masyarakat, lalu berteriaklah golongannya, ini Phobia Islam, ini Intoleransi, ini bahaya. Dalam ranah keilmuan, Haikal Hassan ini fatal, dia ditolak ceramah karena kebodohannya, yang berakibat bisa membodohi orang lain dan membahayakan agama itu sendiri. Jika ingin jadi penceramah, belajarlah dulu, mulai dari dasar, masuk Ibtida`i dulu, belajar Jurumiyah dulu, biar tidak merusak Islam itu sendiri.
Lantas ada yang memakai alasan, saya hanya mengikuti perintah Nabi, hadist yang dipakai, Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Jika mau ikut hadist itu, sapaikan saja, satu ayat, sudah. Misal, Qul Huwallahu Ahad, sudah, diam. Jangan kemudian dimaknai, ditafsiri seenaknya, malah dibuat ceramah sebagai landasan pembenaran dari tujuan-tujuan hawa nafsunya. Kita harus sepakat pada satu kesadaran bahwa Ilmu Islam itu ada pirantinya untuk memahami, Tidak bisa asal, jika asal-asalan tanpa ilmu yang mumpuni, sekali lagi, sangat berbahaya. Merusak Islam itu sendiri.
Akhiron, jika kemudian Haikal Hassan ditolak untuk berceramah, di luar dari yang konon isi ceramahnya memprovokasi dan memecah belah persatuan, yang paling mendasar dari penolakannya adalah tentang kebodohannya, ini soal ilmu yang harus disampaikan dengan benar.