Salah satu kesyukuran terbesar dalam hidup saya adalah, saya secara Tak sengaja “Dipaksa” untuk kemudian bergabung bersama gerbong besar motor Nahdatul Ulama bernama GP Ansor. Entah sudah berapa tahun silam, rasanya baru kemarin saya bergabung. Ya, bergabung bersama sahabat-sahabat Ansor dan Banser dengan berbagai macam warna sikap, watak dan kepribadian.
Saya memilih untuk berkhidmad dalam Skup terkecil, di Ranting, struktural terkecil di GP Ansor, tinggkat desa, pelosok pula, di ujung timur Situbondo sana. Yang tak ada Ansor sebelumnya, Tak ada pemuda-pemuda gagah yang kemudia berseragam loreng dengan Bagde Banser tersemat di dadanya. Tak ada. Satu dua orang yang kemudian bergabung, hingga lumayan banyak hingga saat ini, macam-macam latar belakangnya. Namun pada satu tema besar, mereka adalah anak-anak pemabuk.
Banyak kisah seru, lucu dan kadang menyesakkan hati, hari Ahad pagi kami bersih-bersih pemakaman umum, tiba-tiba ada salah satu anak saya yang berteriak “Aduh … ini rumputnya susah sekali dicabut”, semua tergelak, rupanya masih ada sisa mabuk semalam dia, bukan rumput, namun batu Nisan yang dia berusaha cabut sekuatnya. Ribuan kisah seperti itu, itu yang membuat saya betah untuk terus bersama mereka, membersamai mereka dengan daya yang saya punya, tak banyak hasilnya, namun yang penting usaha, hasilnya Kersone Gusti Allah, biar urusan para Muassis NU nanti bagaimana mereka. Hehehe …
Kadang pada satu titik marah, ada salah satu anak saya yang kelakuannya mencoreng nama baik organisasi, saat itu pula saya pengen “Sudah kamu jangan di Banser saja”. Namun selalu saya ingat salah satu cerita Masyhur saat Gus Zaki Ubed salah satu komandan Banser Sowan kepada Mbah Hamid Pasuruan, meminta persetujuan Mbah Yai Hamid, Gus Zaki Ubed akan memecat satu Banser yang telah melakukan tindakan yang mencoreng Marwah Organisasi, dengan harapan Mbah Yai Hamid setuju atas langkah yang akan dilakukannya. Namun reaksi Mbah Yai Hamid diluar dugaan, beliau Ngendikan begini, “Jadi Bapak itu herus bijaksana, seorang bapak yang membawa anaknya ke Resepsi pernikahan, dengan memakaikan kemeja yang bagus untuk anaknya, namun tiba-tiba anak itu buang air besar, mengotori baju anak itu sendiri dan baju bapaknya”
Lalu Mbah Yai Hamid meneruskan Dawuhnya, “Iku anak ojo koen buwak, (Anak itu jangan kau buang), wong saiki akeh seng butuh anak, dipek wong anak iku (Orang sekarang banyak yang butuh anak, nanti diambil orang anak itu). Jadi bapak itu harus berani berkorban perasaan dan menderita demi kepentingan anak-anaknya.” Dawuh Mbah Yai Hamid. “Lantas bagaimana Yai?” tanya Gus Zaki Ubed, Mbah Yai Hamid dengan tegas menjawab “Ya Cewok ono maneh (Ya ceboki lagi dia)”.
Tiap teringat kisah itu, saya Ndak jadi marah sama anak-anak Banser saya, apalagi sampai memecatnya, cukup diajak makan, Ngopi, lalu kami bergurau lagi bersama “Ojo nemen-nemen Rek, awakku mengko duwe Hipertensi goro-goro awakmu”. Dan mereka tertawa, lalu dengan sok Iyes, pura-pura tanya ke sesama Bansernya, Eh besok kita PAM pengajian dimana ya? Kerja bakti dimana ya? Hahahaha …
Saya Ndak mau menjelaskan lagi bagaimana Dawuh Mbah Hamid diatas, cerita ini ditulis untuk diri saya sendiri, sebagai pengingat diri, jadi Bapak itu harus berani berkorban perasaan dan rela menderita untuk kepentingan anak-anaknya. Untuk kepentingan Banser-bansernya.
Hadiyatul Fatihah untuk Mbah Yai Hamid Pasuruan, biannallaha yu’li darojatihim fil jannah wayui`du alaina min barokatihim wa asrorihim wa anwarihim wa ulumihim fiddini waddunya wal akhirah. Al fatihah ….